Devenisi Dan Sejarah Penemuan Bakteri

Devenisi Dan Sejarah Penemuan Bakteri - Belum ada definisi tentang bakteri anaerob yang diterima secara universal, tetapi ketentuan umum yang disepakati ialah bahwa bakteri ini membutuhkan tekanan oksigen yang rendah untuk pertumbuhannya dan tidak tumbuh pada media permukaan yang berkontak dengan udara atau mengandung 10% CO2. Bakteri ini tidak dapat tumbuh bila ada oksigen karena zat ini toksik bagi kehidupannya. Bahkan, bakteri ini pun akan mati pada konsentrasi oksigen serendah 0,5%, walaupun kebanyakan masih dapat bertahan pada konsentrasi oksigen 3-5%. Bakteri anaerob merupakan bagian yang, secara numerik, dominan sebagai flora normal bakteri dan kini dikenal sebagai penyebab infeksi yang relatif umum pada hampir semua bagian tubuh.

Devenisi Dan Sejarah Penemuan Bakteri
Devenisi Dan Sejarah Penemuan Bakteri

Beberapa bakteri anaerob, terutama yang ditemukan sebagai flora normal dan jarang terdapat pada tempat infeksi, dianggap sangat rentan terhadap oksigen, karena akan mati dalam beberapa menit setelah berkontak dengan udara. Bakteri anaerob lainnya dianggap relatif aerotoleran, karena masih bertahan hidup selama berjam-jam bahkan berhari-hari dalam udara, meskipun membutuhkan keadaan anaerob untuk replikasi. Hampir semua bakteri anaerob yang dianggap penting dalam klinik bersifat aerotoleran.

Dasar fisiologik untuk sensitivitas bakteri anaerob terhadap oksigen masih belum dipahami dengan baik. Beberapa ilmuwan mengemukakan bahwa faktor kritisnya ialah potensial oksidasi reduksi (Eh) lingkungan, tetapi penelitian pada bacteroides fragilis pada kemostat menunjukkan bahwa kenaikan Eh dengan manipulasi kimiawi tidak berpengaruh pada pertumbuhan bakteri tersebut, asal saja tidak diberi oksigen. Hal ini menunjukkan bahwa oksigen sendiri mempunyai efek toksik.

Salah satu enzim yang berperan dalam metabolisme terkait oksigen ialah superoksida dismutase (SOD), yaitu enzim yang mengurangi radikal superoksida yang toksik sehingga melindungi mikroorganisme terhadap efek letal zat tersebut. Galur aerotoleran bakteri anaerob memiliki enzim ini dan terdapat korelasi antara kadar SOD dengan toleransi oksigen. Enzim tersebut tampaknya dapat diinduksi oleh pajanan terhadap oksigen. Implikasinya ialah bahwa SOD memudahkan bakteri itu untuk bertahan dalam keadaan aerob dan, dengan demikian, bertindak sebagai faktor virulensi.

Sejarah

Louis Pasteur dianggap sebagai orang yang menemukan bakteri anaerob obligat pertama, yaitu Clostridium butyricum, pada tahun 1861. Banyak tulisan terbit pada sekitar perpindahan abad dalam kepustakaan Perancis dan Jerman yang mendeskripsikan isolasi bakteri anaerob dan berbagai tempat dalam tubuh manusia. Di antara tulisan yang penting pada waktu itu, terdapat publikasi Schottmuller yang memperhatikan bahwa bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada sepsis puerperalis adalah bakteri Streptocccus anaerob, dibandingkan dengan Streptococcus 13-hemolitikus grup A. Ia mengemukakan postulat bahwa infeksi tersebut bersifat endogen yang didapat dan flora normal organ genitalia.

Smith mencatat bahwa organisme yang terlihat pada dinding abses paru pada otopsi menyerupai organisme yang terlihat pada celah gusi. Ia mengemukakan postulat bahwa aspirasi merupakan mekanisme infeksi ini dan selanjutnya mendukung pernyataan tersebut dengan menimbulkan pneumonia aspirasi pada hewan percobaan, yang berkelanjutan menjadi abses paru, dengan melakukan inokulasi pus intratrakeal yang berasal dad piore.

Perhatian kepada bakteri anaerob berkurang dengan kedatangan antibiotika, tetapi timbul kembali pada tahun 1960- an, yang kemungkinan mencerminkan tiga perkembangan yang terjadi pada saat yang sama. Pertama, tersedia teknik yang lebih sederhana, misalnya botol Gas Pack, sehingga laboratorium klinik mampu menangani bakteri oksigen sensitif. Kedua, organisme yang mempunyai riwayat panjang dan remit, akibat nomenklatur yang membingungkan, akhirnya digolongkan ke dalam klasifikasi taksonomik yang dapat diterima dengan baik. Ketiga, isolasi bakteri anaerob yang sering diperoleh pada laboratorium penelitian, yang disertai kemungkinan akan implikasi terapeutik, mengharuskan penggunaan teknik mikrobiologi anaerob yang lebih luas.

Selama tahun 1960-an dan 1970-an, sejumlah besar penelitian menetapkan kembali insidensi bakteri anaerob pada berbagai jenis infeksi dan pola bakteriologik di berbagai tempat anatomik. Peran patogenitas bakteri anaerob diperdebatkan dengan sengit, terutama pada implikasi terapeutik. Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa bakteri anaerob berada pada tempat infeksi akibat keberadaan bakteri aerob secara bersamaan, yang menghasilkan keadaan lingkungan yang memungkinkan bertahannya bakteri anaerob. Oleh karena itu, ada pendapat yang beranggapan bahwa pengobatan yang semata-mata ditujukan kepada komponen aerob infeksi tersebut, seharusnya sudah mencukupi. Ilmuwan lain yang tidak sependapat dengan anggapan di atas menyatakan bahwa bakteri anaerob perlu diobati karena turut menimbulkan kelainan patologik. Berdasarkan perbedaan pandangan ini, beberapa pakar menganjurkan obat antimikroba yang hanya ditujukan kepada komponen anaerob pada infeksi campur. Akan tetapi, kebanyakan ahli menganut pandangan yang lebih konservatif, yaitu bahwa pengobatan hams ditujukan terhadap patogen potensial pada tempat infeksi, baik yang aerob maupun yang anaerob.

Frekuensi isolasi bakteri aerob yang bersamaan dengan bakteri anaerob sering kali dikutip sebagai bukti bahwa bakteri anaerob hanya terdapat karena adanya bakteri aerob. Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa sedikitnya sepertiga sampai setengah jumlah infeksi yang melibatkan bakteri anaerob menghasilkan flora anaerob saja, sedangkan sisanya campuran dengan bakteri aerob.

Pada masa kini, bakteri anaerob dikenal sebagai patogen yang relatif sering terdapat pada berbagai tempat di dalam tubuh manusia. Ketertarikan para klinikus pada isolasi laboratorium berbeda-beda, karena mereka dapat mengobati infeksr ini secara empirik, meskipun kebanyakan orang setuju bahwa identifikasi organisme dengan pewarnaan Gram dan biakan tradisional lebih disukai bila teknik ini dapat dilakukan dengan mudah. Meskipun demikian, pendekatan empirik kadang-kadang beralasan antara lain karena mendapatkan spesimen yang tepat relatif sulit dan diperlukan waktu panjang untuk mengisolasi serta mengidentifikasi bakteri anaerob, makna uji kerentanan bakteri anaerob secara in vitro tidak pasti, banyak laboratorium masih relatif belum trampil mengisolasi bakteri anaerob, dan berdasarkan pengamatan pengobatan empirik biasanya berhasil.

Kini masih terdapat perbedaan paham yang cukup besar tentang berbagai segi dalam infeksi bakteri anaerob. Hal tersebut adalah uji kerentanan in vitro, keunggulan relatif berbagai obat antimikroba, dan interaksi berbagai bakteri pada tempat infeksi. Namun, organisme ini kini merupakan patogen yang diakui secara umum. Dampak pengamatan ini terhadap perawatan klinis jelas terlihat pada pola penggunaan obat antimikroba di rumah sakit. Pola tersebut pada umumnya menunjukkan bahwa obat, yang keberadaannya semata-mata berdasarkan aktivitas antianaerob seperti klindamisin dan sefositin, menempati urutan atas pada daftar pengeluaran biaya antibiotika pada sebagian besar rumah sakit.

Pustaka: Bakteri Anaerob yang erat kaitannya dengan problem di klinik Oleh dr.Sylvia Y. Muliawan, DMM, SpMK, PhD